“Kakakku mungkin tidak sempurna di mata dunia, tapi bagiku, ia adalah cahaya yang menerangi jalanku. Dunia memang tak selalu ramah, tapi aku akan selalu menjadi tempat pulang untuknya.”

Namaku Balqis, aku berusia 12 tahun. Sejak kecil, aku selalu menyukai dongeng. Dulu, ibu sering membacakan dongeng sebelum tidur, dan aku membayangkan hidup seperti dalam cerita—indah, penuh petualangan, dan selalu berakhir bahagia. Tapi nyatanya, hidup tidak sesederhana itu. Tidak ada peri yang bisa mengubah nasibku dengan sekali ayunan tongkat sihir. Aku harus mencari jalanku sendiri.

Aku memiliki seorang kakak bernama Aditya, dia lebih sering dipanggil Adit. Dia tidak seperti kakak-kakak lain yang bisa mengajariku membaca atau mengajakku bermain petak umpet. Adit kesulitan berbicara dengan lancar, sulit membaca, dan butuh waktu lebih lama untuk memahami sesuatu. Orang-orang sering melihatnya dengan tatapan aneh, tapi bagiku, dia adalah kakak terbaik di dunia. Meski berbeda, Adit adalah orang yang paling baik yang pernah kukenal. Dia selalu tersenyum saat aku membacakan cerita, dan entah bagaimana, berada di dekatnya selalu membuatku merasa hangat.

Dulu, keluargaku bahagia meski ayah jarang pulang karena bekerja di kota lain. Saat pulang, ia selalu membawa oleh-oleh dan menceritakan kisah-kisah perjalanannya. Tapi entah sejak kapan, semuanya mulai berubah. Ayah semakin jarang menghubungi, ibu semakin sering marah. Kadang, aku melihat ibu duduk diam di ruang tamu, menatap jendela dengan tatapan kosong. Aku pernah bertanya kapan ayah pulang, tapi ibu hanya menghela napas panjang dan berkata, “Entahlah, Balqis.” Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi aku bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres.

Hingga akhirnya, ibu pergi menyusul ayah ke kota, meninggalkan aku dan Adit bersama tante. Aku tidak tahu kenapa. Aku hanya bisa menunggu. Ketika ibu kembali, aku berharap segalanya akan kembali seperti dulu. Tapi tidak. Ibu berubah. Aku tidak tahu kapan tepatnya ibu mulai terobsesi dengan ular. Awalnya ia hanya membeli satu, lalu dua, hingga rumah kami penuh dengan ular. Ia sering berbicara dengan bahasa aneh, pergi ke tempat-tempat yang tak kumengerti, dan bergaul dengan orang-orang baru yang membuatku takut. Aku pernah diajak ke tempat penuh patung-patung aneh, dan saat itu aku merasa seperti berada di dunia lain. Tapi yang paling menyakitkan adalah ibu semakin menjauh dari kami. Aku ingin memeluknya dan bertanya, Ibu, kenapa kita tidak bisa seperti dulu lagi? Tapi aku tidak berani.

Kemudian ayah pulang. Mereka bertengkar hebat. Aku mendengar suara teriakan mereka dari balik pintu kamar, sementara aku dan Adit hanya bisa saling menggenggam tangan, tak tahu harus berbuat apa. Hingga akhirnya, ayah berkata, kita akan pergi. Aku tidak mengerti apa yang terjadi, tapi aku tahu satu hal: orang tuaku berpisah. Aku harus meninggalkan ibu.

Kami pindah ke kampung halaman ayah dan tinggal bersama nenek. Aku berharap semuanya akan lebih baik di sini. Tapi ternyata, dunia juga tidak ramah kepadaku dan kakakku. Anak-anak di desa tidak menyukai Adit. Mereka mengolok-oloknya, menyebutnya “bodoh” dan “idiot.” Mereka bahkan menertawakanku karena selalu bersamanya. Aku menggenggam tangan Adit erat-erat. Aku ingin marah, ingin membela kakakku, tapi aku tidak tahu harus bagaimana. Setiap kali aku mencoba bermain dengan anak-anak lain, mereka selalu bertanya, “Kenapa kakakmu begitu?”. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Yang kutahu, Adit bukan orang bodoh. Ia hanya berbeda. Ia memang tidak bisa berbicara dengan lancar, lebih lambat dalam memahami sesuatu, lebih sulit mengungkapkan perasaannya, tapi ia adalah orang yang paling baik yang pernah kukenal.

Pada akhirnya, aku sadar bahwa aku tidak bisa memaksa orang untuk mengerti. Aku berhenti mencoba berteman. Aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan Adit. Aku belajar mengurusnya sendiri—menyuapinya, membantunya mandi, menggantikan peran ibu. Aku harus menjadi dewasa sebelum waktunya.

Tapi aku juga manusia. Kadang aku lelah. Kadang aku bertanya-tanya, kenapa aku harus mengalami ini? Pernah suatu malam aku menangis sendirian, bertanya dalam hati, apa aku akan selamanya hidup seperti ini? Lalu aku menoleh dan melihat Adit tertidur di sampingku. Saat itu aku tahu jawabannya: Aku tidak bisa menyerah. Jika aku menyerah, siapa yang akan menjaga Adit?

Hari-hari berlalu, dan aku semakin terbiasa dengan kehidupanku. Hingga suatu hari, aku pulang sekolah dan menemukan Adit duduk di lantai dapur, menangis. Aku panik. Ia memeluk perutnya erat-erat. Aku melihat meja makan, kosong. Ayah belum pulang bekerja, nenek sedang keluar, dan aku lupa meninggalkan makanan untuk Adit sebelum berangkat sekolah. Dadaku terasa sesak. Aku buru-buru mencari sesuatu untuk dimakan dan menemukan sebungkus roti. Aku menyuapinya perlahan, lalu berkata, “Tunggu sebentar ya, Kak. Aku bikinin teh manis.” Tapi sebelum aku bisa berdiri, Adit menarik tanganku dan berbisik pelan, “Qis…” Aku menatapnya, matanya penuh air mata. Aku menggenggam tangannya erat. “Aku di sini, Kak.” Saat itu, aku berjanji pada diri sendiri, aku tidak akan membiarkan Adit merasa sendirian lagi.

Tapi dunia terus menguji kami. Anak-anak di desa terus mengolok-oloknya. “Kenapa sih selalu main sama dia?” tanya salah satu anak. Aku menatapnya tajam. “Karena dia kakakku.” Mereka tertawa. “Dia kan idiot.” Aku ingin membalasnya, tapi sebelum aku bisa bicara, aku melihat Adit tertawa sendiri sambil memainkan daun kering di tangannya. Aku menarik napas panjang. Malam itu, saat aku menyuapinya makan malam, aku bertanya, “Kak, pernah nggak merasa sedih kalau orang-orang ngomong jelek tentang kakak?” Adit berhenti mengunyah, menatapku sejenak dengan mata polosnya, lalu tersenyum. “Aku… punya Balqis.” Aku menggigit bibirku, menahan air mata. Aku memeluknya erat. Aku harus lebih kuat untuknya.

Hari paling menakutkan dalam hidupku adalah ketika Adit menghilang. Aku baru pulang sekolah dan tidak menemukannya di rumah. Aku mencari ke seluruh rumah, berteriak memanggil namanya. Tidak ada jawaban. Aku berlari mencari nenek, bertanya apakah dia melihatnya. Tidak. Aku bertanya ke setiap tetangga. Tidak ada yang tahu. Hatiku terasa seperti akan pecah. Aku mulai membayangkan hal-hal buruk: bagaimana jika dia jatuh ke sungai? Bagaimana jika dia tersesat? Aku ikut mencari bersama ayah dan warga, berlari sekuat tenaga. Lalu, aku menemukannya. Di tepi sungai, duduk sendirian, bermain air. Aku hampir jatuh berlutut karena lega. Aku berlari dan memeluknya erat. “Kakak! Jangan pergi sendiri lagi! Aku takut!” Adit mengusap air mataku. “Takut?” Aku mengangguk. Ia tersenyum kecil dan menepuk kepalaku. “Jangan takut. Ada aku.” Aku menangis lebih keras. Aku seharusnya yang melindungi Adit. Tapi justru dia yang menenangkanku.

Aku mulai bertanya-tanya, bagaimana cara memahami dunia Adit? Kenapa dia berbeda? Kenapa orang-orang sulit menerimanya? Suatu hari, di sekolah, aku melihat seorang guru muda berbicara dengan anak berkebutuhan khusus. Ia berbicara dengan sabar, penuh kasih sayang, dan anak itu terlihat nyaman dengannya. Aku bertanya, “Kenapa Ibu bisa memahami mereka?” Guru muda itu tersenyum. “Ibu belajar tentang psikologi. Ibu ingin membantu mereka agar mereka tidak merasa sendirian.” Aku terdiam. Dan saat itu, aku tahu. Itulah yang ingin aku lakukan. Aku ingin memahami kakakku lebih dalam. Aku ingin membantu orang-orang seperti dia agar tidak merasa sendirian, agar dunia tidak selalu menghakimi mereka. Aku ingin memberikan dunia yang lebih ramah untuk orang-orang seperti Adit.

Aku mulai mencoba menjelaskan kepada teman-teman sebayaku tentang kondisi kakakku. “Kakakku itu tidak bodoh. Dia hanya butuh lebih banyak waktu untuk memahami sesuatu,” kataku kepada mereka. Awalnya, mereka tidak peduli. Tapi perlahan, beberapa dari mereka mulai memahami. Ada yang akhirnya menyapa Adit saat bertemu di jalan. Ada juga yang mulai bermain dengannya. Aku belajar bahwa aku tidak bisa mengubah dunia, tapi aku bisa mengubah cara orang memandang kakakku.

Hari ini, aku memang masih kecil. Tapi aku tahu, aku lebih kuat dari yang kukira. Aku belajar bahwa menerima kenyataan bukan berarti menyerah, tapi memilih untuk tetap berdiri. Aku belajar bahwa aku tidak bisa mengubah masa lalu, tapi aku bisa mengubah masa depanku. Aku mungkin kehilangan ibu. Aku kehilangan rumah yang dulu hangat.  Aku mungkin kehilangan banyak hal. Tapi aku masih punya sesuatu yang lebih berharga: cinta, tekad, dan impian. Aku masih memiliki ayah yang bekerja keras agar kami tetap bisa hidup layak. Aku juga memiliki Adit. Kakakku mungkin berbeda dari orang-orang, tapi bagiku, dia adalah cahayaku. Senyumnya yang tulus, caranya menggenggam tanganku saat dunia terasa menakutkan, dan kehadirannya yang selalu mengingatkanku bahwa aku tidak sendiri—semua itu adalah sinar yang menerangi jalanku. Dia mengajarkanku bahwa cinta tidak selalu harus diungkapkan dengan kata-kata, tapi bisa terasa dalam setiap kebersamaan. Aku adalah Balqis, dan aku akan menjadi cahaya bagi orang lain, sama seperti cahaya yang telah diberikan Adit kepadaku. Aku tidak akan berhenti berjalan.


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *