“Bukan kesempurnaan yang membuat seseorang berharga, tetapi keberanian untuk menjadi dirinya sendiri.”

Namaku Victory. Nama yang terdengar megah, bukan? Kemenangan. Aku seharusnya menang dalam segala hal, itulah harapan yang disematkan sejak aku lahir. Tapi, sejujurnya, aku merasa nama itu terlalu berat untuk kupikul. Bagaimana tidak? Kemenangan bukanlah sesuatu yang datang kepadaku begitu saja. Aku harus berusaha keras, bahkan lebih keras dari yang bisa kubayangkan, hanya untuk mendapatkan sedikit pengakuan. Kakakku, Aiko, adalah bintang keluarga kami. Ia jenius—tanpa perlu bersusah payah, ia selalu berada di puncak. Setiap ujian, setiap olimpiade, setiap perlombaan, namanya selalu terpampang di peringkat pertama. Sementara aku? Aku harus berjuang mati-matian hanya untuk mendekati pencapaiannya.

Aku masih ingat saat pertama kali aku membawa pulang nilai sembilan puluh di kelas tiga SD. Aku berdiri dengan perasaan bangga, berharap mendapatkan pujian dari ibuku. Tapi yang kudapatkan justru sebaliknya.

“Hanya sembilan puluh? Kenapa kamu tidak bisa seperti Aiko? Aiko selalu mendapatkan nilai sempurna.”

Matanya menatap tajam. Aku mengepalkan tanganku, berusaha menahan air mata yang menggenang. Sejak hari itu, aku mengerti satu hal: dalam keluarga ini, tidak sempurna sama saja dengan kegagalan.

Sejak kecil, hidupku bukan milikku sendiri. Ibuku yang menentukan segalanya—apa yang boleh kulakukan, ke mana aku boleh pergi, bahkan apa yang harus aku cita-citakan. Saat SMP, aku mulai menyadari bahwa aku lebih tertarik pada ilmu sosial. Aku menyukai sejarah, sosiologi, dan geografi. Tapi ketika aku menyampaikan keinginanku untuk memilih jurusan IPS saat SMA, ibuku langsung menolaknya mentah-mentah.

“Tidak! Kamu harus masuk IPA. Kamu harus jadi dokter!”

Aku tidak ingin menjadi dokter. Bayangan bekerja di rumah sakit, menangani pasien, sama sekali tidak membuatku bersemangat. Tapi aku tidak punya pilihan. Kata-kata ibuku adalah hukum yang tak bisa dilanggar.

Aku tidak punya teman dekat. Ibuku melarangku bermain setelah sekolah. “Tidak ada gunanya berteman kalau hanya membuatmu gagal,” katanya. Sebagai gantinya, jadwalku dipenuhi dengan les tambahan. Matematika, fisika, kimia, dan biologi—semuanya harus sempurna. Aku tidak pernah diizinkan keluar rumah kecuali untuk belajar.

Kadang-kadang, di sekolah, aku melihat teman-teman sekelasku tertawa bersama di kantin, bercanda tentang hal-hal kecil. Aku ingin bergabung, aku ingin tertawa seperti mereka, tapi aku tahu ibuku tidak akan menyukainya. Jadi aku memilih diam. Aku tetap duduk di kursiku, tenggelam dalam buku pelajaran, meskipun sebenarnya aku tidak tahu apa yang sedang kubaca. Aku merasa sendirian. Bahkan di tengah keramaian, aku tetap merasa terisolasi.

Besok adalah hari ujian akhir semester matematika. Namun, tubuhku tidak dapat diajak bekerja sama. Aku merasa lemas, kepalaku berdenyut hebat, dan tubuhku panas seperti terbakar. Aku tahu aku sakit. Seharusnya aku beristirahat. Tapi bagaimana mungkin? Aku harus belajar. Aku harus mendapatkan nilai sempurna. Aku tidak bisa mengecewakan ibuku. Dengan sisa tenaga, aku memaksa mataku tetap terbuka. Aku membaca kembali rumus-rumus yang harus kuhafalkan. Tetapi kata-kata di buku mulai kabur, dan sebelum aku menyadarinya, tubuhku tumbang di meja belajar.

Seminggu kemudian, hasil ujian dibagikan. Aku mendapat 97,5. Itu berarti aku salah menjawab satu soal. Tanganku gemetar saat menerima kertas ujianku. Bagaimana aku bisa menjelaskan ini pada ibuku? Di rumah, ibuku sudah menunggu dengan penuh harapan. Aku menyerahkan hasil ujianku. Ia melihat angka itu dan seketika ekspresinya berubah menjadi dingin.

PLAK!

Rotan di tangannya mendarat di betisku. Aku meringis, tapi tidak menangis. Aku sudah terbiasa.

“Hanya ini yang bisa kamu dapatkan?! Kamu memang tidak bisa membanggakan seperti Aiko! Sangat memalukan!”

Aku diam. Aku tahu, tidak ada gunanya berbicara.

Puncak masalah terjadi saat rapor dibagikan. Aku mendapatkan peringkat dua. Aku menelan ludah, merasa seluruh dunia berputar. Aku bahkan tidak sempat menjelaskan. Ibuku langsung mengamuk. Aku tidak tahu berapa kali pukulan itu mendarat. Aku tidak tahu sudah berapa banyak luka yang kuterima. Yang kuingat hanyalah rasa sakit yang luar biasa, dan kemudian semuanya menjadi gelap.

Aku terbangun di rumah sakit. Aku tidak bisa menggerakkan tubuhku dengan bebas. Rasanya seperti ada beban berat yang menindih seluruh tubuhku. Aku melihat ke samping, ayahku berdiri di sana.

“Dia jatuh dari motor,” katanya pada dokter.

Aku ingin tertawa. Benarkah? Apakah ini yang disebut “jatuh dari motor”? Sejak saat itu, aku mulai mendengar suara-suara yang menghakimiku. Suara ibuku.

“Kamu gagal.”
 “Kamu memalukan.”

 “Kamu tidak sebaik Aiko.”
 “Seharusnya kamu tidak ada.”

Aku melihatnya berdiri di sudut ruangan, meskipun ia sebenarnya tidak ada di sana.

Aku menutup telingaku, mencoba mengusir suara itu. Tapi semakin aku menolaknya, semakin keras suara itu terdengar. Aku mulai berbicara sendiri, menjawab suara-suara itu. Aku tahu ini tidak normal, tapi aku tidak tahu bagaimana cara menghentikannya. Aku semakin menarik diri, bahkan dari ayahku. Aku berhenti sekolah.

Ibuku malu dengan keadaanku. Ia berbohong pada tetangga, mengatakan bahwa aku melanjutkan sekolah ke luar negeri. Aku hanya bisa tertawa pahit. Sejak kapan aku menjadi seseorang yang bisa pergi ke luar negeri?

Tapi kali ini, ayahku berbeda pendapat dengan ibuku. Diam-diam, ia membawaku ke psikolog. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa didengar. Psikolog itu tidak menghakimiku. Ia tidak menyuruhku menjadi Aiko. Ia tidak mengatakan bahwa aku gagal. Ia hanya mendengarkan, dan perlahan, aku mulai belajar bahwa tidak apa-apa untuk merasa sakit. Tidak apa-apa untuk tidak sempurna.

Hari-hari setelah kunjunganku ke psikolog adalah awal dari perjalanan panjang. Aku tidak serta-merta sembuh. Aku masih sering terbangun di malam hari dengan suara ibuku yang berbisik di kepalaku. Aku masih merasa ketakutan setiap kali melihat angka-angka di kertas ujian, meskipun aku tidak lagi duduk di bangku sekolah. Aku masih merasa tidak cukup baik, masih merasa bahwa dunia ini bukan tempat untukku.

Tapi untuk pertama kalinya, aku tidak sendirian dalam ketakutanku. Psikologku, Ibu Dara, memberiku ruang untuk berbicara. Tidak ada penilaian, tidak ada tuntutan. Ia tidak menyuruhku untuk “melupakan semuanya” atau “memaafkan dengan cepat.” Sebaliknya, ia bertanya, “Apa yang kamu rasakan?” dan benar-benar mendengarkan jawabanku.

Dari sesi ke sesi, aku mulai mengenali pikiranku sendiri. Selama ini, aku hidup dalam bayang-bayang ekspektasi yang tidak bisa kupenuhi. Aku selalu menganggap bahwa nilai yang buruk berarti aku tidak berharga, bahwa jika aku tidak sempurna, maka aku tidak layak dicintai. Keyakinan ini tertanam begitu dalam, sehingga aku bahkan tidak menyadari betapa beratnya beban yang kubawa selama ini.

Ibu Dara membantuku mengidentifikasi suara di kepalaku. “Itu bukan suara ibumu,” katanya suatu hari. “Itu suara yang kamu internalisasi dari cara ibumu memperlakukanmu.”

Aku terdiam. Selama ini, aku mengira bahwa suara itu adalah kebenaran mutlak. Tapi jika itu hanya sesuatu yang kutanam sendiri dalam pikiranku… bukankah itu berarti aku bisa mengubahnya?

Perjalanan penyembuhan bukan hanya tentang menerima diri sendiri, tetapi juga tentang melepaskan beban yang tidak perlu. Salah satu beban terbesarku adalah rasa bersalah. Aku merasa bersalah karena mengecewakan ibuku, karena tidak menjadi Aiko, karena merasa lelah.

“Apa yang akan terjadi jika kamu berhenti berusaha memenuhi ekspektasi ibumu?” tanya Ibu Dara suatu hari.

Aku menggigit bibir. “Aku tidak tahu…”

“Apakah kamu takut dia tidak akan mencintaimu?”

Aku mengangguk pelan.

Ibu Dara tersenyum lembut. “Cinta yang sejati bukanlah sesuatu yang harus kamu perjuangkan dengan mengorbankan dirimu sendiri.”

Kata-kata itu menusukku. Aku selalu berpikir bahwa aku harus bekerja keras untuk mendapatkan cinta dan penerimaan. Tapi jika cinta itu hanya diberikan dengan syarat aku harus sempurna, apakah itu benar-benar cinta?

Hari itu, aku mulai melepaskan sebagian dari rasa bersalahku. Aku mulai memahami bahwa aku tidak bertanggung jawab atas kebahagiaan ibuku. Aku tidak perlu mengorbankan hidupku hanya untuk memenuhi ekspektasinya.

Setelah beberapa bulan menjalani terapi, aku mulai mengambil langkah-langkah kecil untuk membangun hidupku sendiri. Aku mengikuti program paket C dan bersiap untuk ujian kesetaraan. Awalnya, aku ragu—bagaimana jika aku gagal? Bagaimana jika aku tetap tidak cukup baik? Tapi kali ini, aku mencoba untuk tidak membiarkan ketakutan itu mengendalikan hidupku.

Aku mulai belajar dengan cara yang berbeda. Bukan lagi belajar demi nilai atau pengakuan, tetapi karena aku ingin memahami. Aku mencoba menikmati prosesnya, menemukan kesenangan dalam membaca buku-buku yang kusukai. Aku menyadari bahwa belajar seharusnya bukan beban, melainkan sesuatu yang bisa memperkaya pikiranku.

Aku masih sering dihantui oleh suara-suara ibuku. Setiap kali suara itu berbisik di kepalaku, aku mencoba menjawabnya dengan lembut, meskipun awalnya terasa sulit.

Ketika suara itu berkata, “Kamu gagal,” aku berhenti sejenak dan menarik napas dalam. Aku mencoba mengingat semua usahaku, semua langkah kecil yang telah kutempuh. Aku membisikkan pada diriku sendiri, “Tidak, aku sedang belajar. Aku tidak gagal hanya karena aku tidak sempurna.” Kegagalan bukanlah akhir, melainkan bagian dari proses. Aku mungkin belum sampai di tujuan, tapi aku masih berjalan, dan itu cukup bagiku. Ketika suara itu mencemooh, “Kamu memalukan,” aku merasakan dadaku sesak. Tapi kemudian, aku memejamkan mata dan mencoba melihat diriku dengan lebih lembut, lebih manusiawi. “Tidak,” kataku dalam hati, “aku adalah manusia, dan manusia tidak perlu sempurna untuk memiliki nilai.” Aku berharga bukan karena aku selalu benar, selalu sukses,

atau selalu kuat, tetapi karena aku hidup, karena aku terus berusaha, dan karena aku berani menghadapi diriku sendiri.

Saat suara itu berbisik, “Kamu tidak sebaik Aiko,” aku merasakan hatiku kembali mengerut, seperti dulu, ketika perbandingan itu selalu menghantuiku. Namun, kali ini, aku tidak membiarkan kata-kata itu menghancurkanku. Aku menarik napas dalam dan membiarkan pikiranku menjawab dengan penuh keyakinan. “Aku tidak harus menjadi Aiko. Aku adalah diriku sendiri.” Aku bukan dia, dan dia bukan aku. Kami berjalan di jalur yang berbeda, dengan langkah dan kecepatan kami masing-masing. Kesuksesan Aiko tidak mengurangi nilai diriku, dan begitu pula sebaliknya. Aku berharga bukan karena seberapa mirip aku dengannya, tetapi karena aku adalah Victory—dengan segala keunikan, kekuatan, dan kelemahanku.

Hari demi hari, aku belajar bahwa pikiranku bukanlah musuhku. Aku bisa memilih untuk berbicara kepada diriku sendiri dengan lebih baik dan penuh kasih sayang. Aku tidak lagi membiarkan suara itu mendefinisikan siapa aku. Perlahan, aku mulai mengubah cara berpikirku. Aku belajar bahwa pikiranku tidak selalu benar, dan bahwa aku memiliki kekuatan untuk mengendalikannya.

Suatu hari, ibuku datang ke kamarku. Sudah lama ia tidak banyak bicara denganku sejak aku berhenti sekolah. Ada kemarahan di matanya.

“Apa yang kamu lakukan dengan hidupmu?” suaranya dingin. “Apa kamu mau jadi orang gagal?”

Aku menggenggam tanganku di bawah meja. Dulu, pertanyaan ini akan membuatku gemetar dan menangis. Tapi kali ini, aku menatap matanya dan berkata, “Tidak, Bu. Aku hanya ingin menjalani hidupku sendiri.”

Ibuku terdiam. Mungkin ia tidak menyangka aku akan membalas. Aku juga tidak menyangka aku bisa mengatakannya. Tapi setelah sekian lama, aku akhirnya berani. Aku tahu ibuku mungkin tidak akan pernah benar-benar menerima pilihanku. Tapi aku juga tahu bahwa aku tidak bisa terus-menerus hidup untuk menyenangkan orang lain. Aku berhak memiliki hidupku sendiri.

Beberapa bulan kemudian, aku lulus ujian paket C dan diterima di jurusan psikologi di sebuah universitas di luar kota. Aku tidak memilih ini untuk siapa pun. Aku memilihnya untuk diriku sendiri. Aku ingin membantu orang-orang sepertiku. Aku ingin memberi tahu mereka bahwa mereka tidak sendirian. Bahwa mereka berharga, meskipun mereka tidak sempurna.

Hari pertama kuliah, aku duduk di kelas, dikelilingi orang-orang yang baru kukenal. Aku merasa gugup, tetapi juga bersemangat. Ini adalah awal yang baru. Aku tidak lagi berusaha menjadi sempurna. Aku tidak lagi hidup dalam bayang-bayang Aiko atau ekspektasi ibuku. Aku tahu aku masih memiliki luka. Aku tahu perjalanan ini masih panjang. Tapi aku juga tahu bahwa aku telah menang, bukan karena aku mengalahkan siapa pun, tetapi karena aku akhirnya berani menjadi diriku sendiri.

Dulu, aku berpikir bahwa kemenangan berarti selalu menjadi yang terbaik, selalu mendapatkan nilai sempurna, selalu menjadi juara. Tapi sekarang, aku menyadari bahwa kemenangan sejati bukanlah tentang mengalahkan orang lain.

Kemenangan sejati adalah ketika aku bisa menerima diriku sendiri.

Kemenangan sejati adalah ketika aku bisa bebas memilih jalan hidupku.

Kemenangan sejati adalah ketika aku bisa bangkit dari keterpurukan, meskipun seluruh dunia meragukanku.

Aku adalah Victory— dan kali ini aku memilih menang. Bukan untuk orang lain, tapi untuk diriku sendiri.

Untuk kamu yang memiliki pengalaman serupa, dengarkan aku—kamu tidak harus sempurna untuk menjadi berharga. Hidupmu adalah milikmu, bukan milik orang lain. Kamu tidak harus menjadi seperti siapa pun untuk diakui; kamu cukup, sebagaimana adanya dirimu. Jangan biarkan perbandingan atau ekspektasi orang lain merampas kebahagiaanmu. Suaramu penting, impianmu berarti, dan kamu pantas dicintai—terutama oleh dirimu sendiri. Kamu tidak harus menjadi sempurna, kamu hanya perlu menjadi dirimu sendiri.


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *