“Bukan kesempurnaan yang membawaku terbang, tapi keberanian untuk tetap bermimpi di tengah badai.”
Aku adalah Trisna, seorang gadis yang tumbuh dalam pelukan kasih sayang, meskipun terkadang dunia terasa kurang ramah. Sejak kecil, namaku mengajarkanku tentang cinta yang tulus, sebuah kekuatan yang tak terlihat, namun begitu nyata dalam setiap langkahku. Cinta itu hadir dalam setiap tawa keluargaku, dalam setiap doa yang kuucapkan, dan dalam setiap pelukan yang kuterima di saat-saat terberat.
Namun, hidup memiliki caranya sendiri untuk menguji arti dari sebuah nama. Di usiaku yang ke-18, ketika seharusnya aku mengepak sayapku menuju masa depan yang cerah, aku justru dihadapkan pada kenyataan yang mengguncang. Sebuah penyakit yang tak pernah terpikirkan, kista ovarium, hadir sebagai tamu tak diundang, menguji batas kekuatanku, dan bahkan mencoba merenggut impian yang telah kubangun sejak kecil.
Perjalanan ini bukan hanya tentang fisik yang lemah atau luka yang membekas, tetapi tentang bagaimana cinta dalam diriku diuji, bagaimana kasih sayang dari keluargaku menjadi pelindung di saat aku merasa runtuh. Namaku, Trisna, kini terasa lebih berat untuk kuemban. Tapi, aku tahu, cinta yang menjadi makna dari namaku inilah yang akan membawaku melewati semua ini, bukan hanya untuk diriku, tapi juga untuk orang-orang yang kucintai.
Aku masih ingat hari itu dengan jelas. Pagi yang biasa, penuh harapan, saat aku sedang bersiap-siap untuk memulai kehidupan baru di kota lain, menggapai impian yang selama ini kuperjuangkan. Hari itu, aku dan bapak pergi ke rumah sakit untuk menjalani pemeriksaan kesehatan rutin. Tadinya, aku hanya merasa sedikit nyeri di pinggang—sesuatu yang kusepelekan sebagai akibat dari duduk terlalu lama mengisi data-data masuk universitas. Aku tidak pernah berpikir bahwa rasa nyeri itu menjadi awal dari perjalanan yang akan mengubah hidupku selamanya. Tak terpikir sedikitpun aku akan mendengar sebuah kabar yang menghantamku tepat di tengah impian yang hampir kujemput.
Saat dokter mengatakan bahwa ada sesuatu yang tidak biasa di tubuhku, aku hanya mendengarkan dengan hati yang tenang, mungkin karena aku belum sepenuhnya memahami apa yang sedang terjadi. Dokter tak berani mengambil keputusan, hanya merujukku ke rumah sakit lain untuk pemeriksaan lebih lanjut. Perasaan aneh mulai merayap ketika aku dan ibu menuju rumah sakit yang dirujuk. Namun, aku masih tetap tenang, pikiranku tak sepenuhnya menyadari bahwa ada sesuatu yang serius.
Di rumah sakit, aku menjalani serangkaian pemeriksaan. Aku masih ingat jelas bagaimana raut wajah ibuku saat rasa cemas mulai menyelimuti hatinya ketika hasil pemeriksaan keluar. Saat mereka menemukan kista sebesar 5×6 cm di ovarium kiriku, aku masih tidak sepenuhnya mengerti apa arti temuan itu, tapi melihat air mata yang mulai mengalir di pipi ibuku, aku tahu bahwa ini bukanlah kabar baik. Ibu bertanya dengan suara bergetar, apakah aku harus menjalani operasi. Dokter awalnya mengatakan tidak perlu, tapi ketika ibu menyebutkan bahwa aku akan pergi ke luar kota untuk kuliah, dokter meralat ucapannya. Kista sebesar itu, pada usiaku, sangat tidak normal dan tidak aman jika dibiarkan begitu saja. Di sanalah aku melihat ibu menangis seperti dunianya telah runtuh, pelukan ibu yang biasanya sangat hangat terasa hampa saat itu.
Perjalanan pulang dari rumah sakit begitu sunyi. Aku tak tahu harus berkata apa kepada adik-adikku yang menatapku dengan penuh pertanyaan. Bahkan bapak pun tampak berusaha menahan kekhawatiran, berusaha tetap tenang saat bertanya tentang obat-obatan yang kubutuhkan. Ketika malam tiba, bapak dan ibu memutuskan untuk berbicara denganku tentang kondisiku. Mereka menjelaskan dengan hati-hati, namun aku masih belum sepenuhnya mengerti apa yang sebenarnya menimpa diriku. Malam itu, aku menangis untuk pertama kalinya, meskipun aku tak sepenuhnya paham dengan kondisiku.
Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan kebingungan. Orang tuaku memutuskan agar aku tidak melanjutkan kuliah, baik di kota lain maupun di kota kelahiranku. Keputusan itu menghancurkan hatiku. Aku sudah berjuang keras, gagal dalam beberapa ujian masuk universitas, dan kini, ketika aku akhirnya diterima di dua universitas sekaligus, keadaan tubuhku justru menghentikanku. Rasanya seperti Tuhan sedang mengujiku, memberiku kesempatan hanya untuk kemudian mencabutnya. Aku merasa iri dengan teman-temanku yang dengan bangga memulai mempersiapkan diri untuk kuliah, sementara aku terpaksa tinggal di rumah, merasakan rasa sakit yang semakin hari semakin nyata. Rasanya seperti dunia tidak adil.
Sehari sebelum operasi, aku berbicara dengan ibu. “Apakah aku benar-benar harus melepaskan kesempatanku untuk kuliah tahun ini? Apakah apakah memang harus keputusan seperti ini yang diambil? Memangnya kalau operasi itu penyembuhannya berapa lama sih?” tanyaku. Ibu hanya tersenyum pahit, tidak ingin memberikan jawaban pasti yang bisa membuatku semakin bersedih. Malam itu, aku merasakan sakit yang begitu menyiksa hingga harus dilarikan ke IGD. Rasanya seperti dunia sedang menghukumku, seperti sakit yang kualami tak akan pernah berakhir.
Operasi yang kulalui mirip dengan operasi melahirkan. Saat masuk ke ruang operasi, aku merasa seolah seluruh hidupku dipertaruhkan. “Tuhan, apa pun yang terjadi, terserah padamu,” bisikku dalam hati. Aku pasrah, tak ada lagi kekuatan yang bisa kugunakan untuk melawan. Saat kistaku ditemukan, dokter mengatakan bahwa itu sudah terlilit dan hampir pecah. Jika pecah di dalam tubuhku, aku mungkin tak akan pernah keluar dari ruang operasi itu dengan selamat. Namun, Tuhan masih berbaik hati memberikanku kesempatan untuk kembali membuka mata.
Aku ingat kata-kata dokter setelah operasi selesai. “Kamu sehat, sel-sel telurnya bagus. Kamu masih bisa punya keturunan kok.” Kalimat itu seolah bercabang dalam pikiranku, setengahnya penuh harapan, setengahnya lagi penuh ketakutan. Meski dokter berkata demikian, aku tahu bahwa tubuhku tak lagi sempurna. Tuba falopiku robek dan akan sangat sulit bagiku untuk memiliki keturunan. Aku merasa seperti kehilangan bagian terpenting dari diriku sebagai seorang perempuan. Aku hanya bisa berpikir, “Apa lagi yang bisa kubanggakan? Wajahku biasa saja, kepintaranku tidak seberapa, dan sekarang tubuhku juga tak lagi sempurna.”
Ketika luka operasi itu belum kering, banyak kerabat yang mengatakan bahwa aku harus menghentikan langkahku sejenak, menunda impianku untuk kuliah dan fokus pada penyembuhan diri. Aku bisa melihat kekhawatiran di mata mereka, bahkan ada yang terang-terangan berkata bahwa kuliah bukanlah prioritas saat ini. Mereka bilang, “Pendidikan bisa menunggu, tapi kesehatanmu tidak.”
Namun, dalam hati kecilku, aku merasa pernyataan itu seperti belenggu yang memenjarakan mimpiku. Setiap kata yang mereka ucapkan seolah membangun tembok penghalang di antara diriku yang sekarang dan impian yang sudah lama kubangun. Aku tahu tubuhku tidak lagi sempurna. Luka di perutku mungkin terlihat kecil di luar, tetapi di dalamnya, perasaanku telah terkoyak lebih dalam.
Aku menyadari bahwa keputusan untuk melanjutkan pendidikan bukanlah perkara sederhana. Orang tuaku, yang biasanya menjadi pelindung dan penyemangatku, kini mulai ragu. Mereka menentang keputusanku untuk tetap berangkat kuliah, bukan karena mereka tidak peduli, tetapi justru karena mereka terlalu peduli. Aku tahu mereka ingin yang terbaik untukku, tetapi di saat yang sama, aku merasa semakin tertekan.
Suatu malam, saat suasana rumah begitu tenang, aku mengumpulkan keberanian untuk berbicara dengan mereka. Aku memandang wajah bapak dan ibu yang tampak lelah, mungkin karena memikirkan bagaimana cara terbaik untuk melindungiku. Dengan suara yang bergetar, aku memulai percakapan itu.
“Bapak, Ibu, aku tahu kalian khawatir, dan aku sangat menghargai itu. Tapi aku ingin kalian mendengarkan aku kali ini, bukan sebagai anak yang harus kalian lindungi, tetapi sebagai seorang perempuan yang punya impian.”
Mereka menatapku dengan penuh perhatian, menunggu kata-kata yang sulit keluar dari bibirku.
“Perempuan selalu dilihat dari dua sudut pandang,” lanjutku, “yang pertama, dari fisiknya yaitu kesempurnaan dirinya. Dan yang kedua, dari ilmunya—dari apa yang bisa ia capai dan berikan kepada dunia.”
Aku terdiam sejenak, mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan. “Aku tahu, aku mungkin sudah kehilangan yang pertama. Tubuhku tidak lagi sempurna, bahkan untuk memiliki keturunan pun aku mungkin harus berjuang lebih keras dari yang lain. Tapi, tolong izinkan aku untuk mengejar yang kedua. Biarkan aku berusaha, biarkan aku berlari walaupun hanya dengan satu kaki. Meskipun mungkin terlihat mustahil, tapi setidaknya aku ingin mencoba.”
Mataku mulai basah, tapi aku terus berbicara. “Bayangkan sebuah burung yang hanya punya satu sayap. Tentu dia tidak bisa terbang setinggi burung lain yang memiliki dua sayap. Tapi seberapa tinggi pun aku bisa terbang, meski dengan satu sayap, itulah ketinggian yang tidak semua orang bisa raih. Dan itu adalah milikku, satu-satunya cara agar aku bisa merasa bangga terhadap diriku.”
Keheningan mengisi ruangan setelah aku selesai berbicara. Bapak dan Ibu saling bertukar pandang, lalu memandangku dengan mata yang penuh kasih. Ibu yang pertama kali bicara, suaranya lembut tapi tegas.
“Nak, Ibu dan Bapak akan selalu mendukungmu, apapun keputusanmu. Jika ini yang kau yakini, kami akan bersamamu dalam setiap langkahmu.”
Aku tidak bisa menahan air mata yang akhirnya tumpah. Untuk pertama kalinya sejak operasi itu, aku merasa bahwa beban yang selama ini kutanggung perlahan mulai terangkat. Aku tahu jalan di depanku tidak akan mudah, tetapi setidaknya aku tidak akan sendirian.
Malam itu, di bawah langit yang gelap, aku merasa seperti burung dengan satu sayap yang siap terbang. Mungkin aku tidak akan mencapai puncak yang paling tinggi, tapi aku akan terus mengepakkan sayapku, menggapai mimpi yang telah lama menanti. Dan dengan dukungan dari orang-orang yang kucintai, aku yakin bisa melampaui batas yang kupikirkan.
Menerima kenyataan tentang kondisiku adalah proses yang panjang dan menyakitkan. Aku berusaha tetap kuat, menyembunyikan rasa sakitku. Aku tidak ingin menunjukkan rasa sakitku kepada dunia. Namun, sebulan setelah operasi, aku mulai merasakan kelelahan yang mendalam. Rasa sakit itu bukan hanya fisik, tapi juga emosional. Saat aku ikut dalam malam keakraban di fakultasku, rasa sakit itu kambuh. Aku harus dilarikan ke rumah sakit, dan ketika kembali, aku mendengar seseorang berbisik, “Sudah tahu sakit, kenapa masih maksain ikut? Cari perhatian cowok-cowok ya?” Kalimat itu menghancurkanku. Aku merasa dunia menghakimiku, seolah aku tidak berhak menjalani hidup normal hanya karena aku memiliki kekurangan ini.
Bangkit dari keterpurukan bukanlah hal yang mudah. Orang-orang selalu berkata, “Semangat ya!” Tapi bagi aku, kata-kata itu terasa kosong. Bagaimana aku bisa bangkit ketika dunia seolah tidak memberi ruang bagi keberadaanku? Setiap kali mendengar kata semangat, aku merasa semakin terpuruk. Aku belajar untuk menyembunyikan lukaku dengan canda tawa, berusaha menunjukkan kepada dunia bahwa aku baik-baik saja. Tapi di dalam, aku hancur. Aku merasa dunia tidak adil, bahwa aku tidak akan pernah bisa bangkit sepenuhnya.
Namun, di tengah semua itu, aku menemukan kekuatan dalam diriku yang tidak pernah kusadari. Tuhan telah memberikanku dua malaikat penjaga, bapak dan ibuku. Mereka selalu ada di sisiku, melindungi, mendukung, dan membuatku merasa bahwa hidupku masih memiliki harapan. Ibu selalu mengatakan bahwa aku lebih kuat dari yang kukira. Saat aku merasa ingin menyerah, ibu selalu ada untuk mengingatkan bahwa aku sudah melalui banyak hal dan tetap bisa berdiri tegak. Bapak, dengan caranya sendiri juga memberiku kekuatan. Sebelum aku pergi ke kota lain untuk kuliah, bapak memberiku cincin dan berkata, “Nak, kamu tidak perlu memberitahukan penyakit kamu ke lawan jenis ya. Kalau dia memang sayang sama kamu, minta dia datang ke rumah. Nanti biar bapak yang jelasin semuanya.”
Kata-kata bapak memberiku harapan bahwa suatu hari nanti, aku akan menemukan seseorang yang bisa menerima diriku apa adanya. Meski tubuhku tak lagi sempurna, aku masih memiliki hati dan jiwa yang kuat. Tuhan pasti telah menyiapkan kisah indah untuk hidupku di masa depan. Aku belajar untuk menerima ketidaksempurnaanku, untuk mencintai diriku sendiri meskipun dunia seolah berkata sebaliknya. Dalam proses ini, aku juga bertemu dengan orang-orang yang mengalami ujian serupa. Kami saling berbagi cerita, saling menguatkan. Dari mereka, aku belajar bahwa aku tidak sendirian. Banyak orang di luar sana yang menghadapi ujian yang jauh lebih berat, dan mereka masih bisa bertahan.
Sekarang, setelah dua tahun berlalu, aku bisa melihat ke belakang dan merasa bangga dengan diriku sendiri. Aku telah melalui banyak hal, dan meskipun rasanya sulit, aku berhasil melaluinya. Aku tidak lagi memikirkan tentang ketidaksempurnaanku sebagai sesuatu yang membatasi hidupku. Sebaliknya, aku melihatnya sebagai bagian dari diriku yang membuatku lebih kuat, lebih bijaksana, dan lebih berempati terhadap orang lain.
Aku masih memiliki impian untuk menjadi seorang psikolog, untuk membantu orang-orang yang membutuhkan, seperti aku yang pernah membutuhkan bantuan. Aku ingin menjadi teman, sahabat, bagi mereka yang sedang berjuang dengan luka-luka mereka sendiri. Aku ingin memberi mereka kekuatan untuk melihat bahwa hidup, meskipun penuh dengan tantangan, masih memiliki banyak hal indah yang patut diperjuangkan.
Pesanku untuk mereka yang mengalami ujian serupa: Cinta itu luas dan murni. Cinta tidak terbatas pada raga yang sempurna atau kehidupan yang mulus. Jika kamu merasa dunia tidak mencintaimu, ingatlah bahwa cinta Tuhan selalu ada, memberikan kekuatan untuk bertahan dan melanjutkan hidup. Jika ada seseorang yang benar-benar mencintaimu, dia akan menerima dirimu apa adanya, tanpa melihat kekurangan fisikmu. Cinta sejati tidak mengenal batas, karena ia adalah jiwa itu sendiri. Tetaplah berjuang, tetaplah berharap, dan percayalah bahwa kamu lebih kuat dari yang kamu kira.
0 Komentar