Kesehatan mental masih menjadi isu kritis dalam masyarakat modern saat ini. Menurut laporan WHO regional Asia Pasifik (WHO SEARO) terdapat 450 juta jiwa dari populasi dunia dilaporkan menderita gangguan kesehatan mental dengan 3,7%nya atau sekitar 9.162.886 kasus berasal dari populasi Indonesia (WHO, 2017). Data tersebut didukung oleh oleh survei tahun 2022 dari I-NAMHS mengenai prevalensi enam gangguan jiwa pada remaja yang menyatakan bahwa dari 5.664 pasang remaja yang menjadi partisipan penelitian yang merupakan penduduk Indonesia sedang mengalami masalah kesehatan mental dalam 12 bulan terakhir yang meliputi 1) gangguan kecemasan (gabungan antara fobia sosial dan gangguan kecemasan umum) sebesar 3,7%, gangguan depresi mayor (1,0%), gangguan perilaku (0,9%), PTSD dan ADHD (keduanya 0,5%). Dari survei tersebut juga dinyatakan bahwa hanya ada 2,6% remaja dengan masalah kesehatan mental yang mengakses layanan dalam 12 bulan terakhir (Gloria, 2022). 

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, kesehatan jiwa merupakan kondisi di mana seseorang dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial. Dengan demikian, individu tersebut dapat menyadari kemampuan mereka sendiri, mengatasi tekanan, bekerja secara produktif, dan memberikan kontribusi kepada komunitas mereka. Konsep sehat mental mencakup kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang utuh, serta tidak adanya gangguan atau permasalahan pada kondisi mental individu (WHO, 2017).Masyarakat umumnya akan meminta bantuan informal, seperti dukun atau ahli agama ketika anggota keluarganya mengalami gangguan mental daripada profesional. Rendahnya kesadaran akan pentingnya professional help-seeking menjadi salah satu alasan mengapa hal tersebut dapat terjadi. Selain itu, penundaan pencarian bantuan profesional ini juga disebabkan karena rendahnya literasi kesehatan mental dan stigma penderita gangguan mental yang ada di tengah-tengah masyarakat (Maya, 2021). Pemberian stigma ini, khususnya, berupa pemberian label pada individu dengan karakteristik tertentu yang membuat individu tersebut cenderung tidak dihargai dalam masyarakat (Goffman, dalam Maya, 2021). Stigma tersebut membangun prejudice tanpa dasar yang mengarah pada bentuk diskriminasi penderita gangguan jiwa, seperti tindakan kekerasan, diskriminasi di tempat kerja dan sekolah. Sebagian warga masih melakukan tindak diskriminasi ini kepada mereka yang mengalami gangguan jiwa yang menyebabkan mereka mengalami kesulitan untuk sembuh dan lebih rentan mengalami kekambuhan (Asti, dalam Mane, et.al., 2022). 

Dalam Putri (2021) juga dijelaskan bahwa akibat dari adanya stigma tersebut, orang dengan gangguan kesehatan mental akan memilih untuk bungkam dan tidak mencari bantuan profesional. Padahal, bantuan profesional ini sangat penting dalam membantu proses kesembuhan pada gangguan yang dialami. Hal ini karena dikhawatirkan gangguan yang dialami justru akan semakin parah apabila tidak segera diatasi, yang kemudian mengarah pada percobaan bunuh diri. Urme (dalam Fitri, 2023) juga memberi keterangan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan tindakan  bunuh diri ialah karena keengganan untuk mencari bantuan profesional akibat adanya stigma. Pernyataan tersebut perlu diperhatikan bahwa adanya stigma negatif di masyarakat turut berkontribusi dalam menyebabkan tingginya angka bunuh diri. 

Terdapat beberapa upaya untuk menurunkan stigma negatif terkait gangguan kesehatan mental, yaitu dengan meningkatkan literasi kesehatan mental dan pemberian dukungan sosial yang sesuai. Dukungan sosial dapat membantu individu untuk meregulasi emosi negatif yang dirasakan serta dapat menguatkan kesehatan mental. Jika tingkat dukungan sosial individu tinggi, maka stigma terkait masalah kesehatan mental, terutama yang berasal dari diri, dapat berkurang (Li, et.al., 2020).

Mental Health Festival 1.0 merupakan salah satu program kerja yang diusungkan oleh BPPK (Badan Pengabdian dan Pengkajian Keilmuan) ILMPI Nasional dan dilaksanakan oleh seluruh BPPK Wilayah. Dimulai dari kegiatan kampanye secara offline untuk memperingati World Suicide Prevention Day (WSPD) hingga seminar maupun webinar untuk memperingati World Mental Health Day (WMHD). Kedua acara tersebut bertujuan untuk mengurangi stigma kesehatan mental yang ada dengan menunjukkan dukungan sosial terhadap penderita masalah kesehatan mental.

Tantangan Kesadaran Masyarakat terhadap Kesehatan Mental di Indonesia

Kesehatan mental adalah suatu kondisi kestabilan mental (emosional) di mana individu telah merasa sejahtera atas kehidupannya. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kesehatan mental mencakup kesejahteraan psikologis yang memungkinkan seseorang untuk menghadapi tantangan hidup dan menjalin hubungan positif dengan orang lain. Dalam UU No. 18 Tahun 2014 juga telah dipaparkan bahwa kesehatan mental merupakan kondisi di mana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya. Kestabilan emosional ini memiliki pengaruh terhadap tingkat produktivitas individu dalam kesehariannya. 

Di Indonesia, pengetahuan dan kesadaran masyarakat terkait kesehatan mental masih sangatlah kritis. Kesadaran yang rendah mengenai kesehatan mental adalah pintu utama dari terbukanya stigma buruk terhadap masalah-masalah terkait kesehatan mental itu sendiri. Semakin berkembangnya stigma buruk di masyarakat dapat berdampak pada keyakinan individu dalam kebutuhan akses penanganan gangguan mental. Masyarakat akan cenderung malu ketika ingin berkonsultasi dengan layanan kesehatan mental karena adanya stigma negatif ini. Sebagaimana hal tersebut juga dijabarkan melalui hasil survei Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) yang menunjukkan terdapat 24,3% remaja mencari pengobatan ke fasilitas kesehatan dengan presentase sebesar 2,9% pada dokter spesialis jiwa.

Untuk mengatasi stigma ini, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah edukasi yang lebih baik dan advokasi sistematik dalam bentuk psikoedukasi. Hal ini perlu dilakukan supaya masyarakat dapat memahami bahwa gangguan kesehatan mental adalah kondisi medis yang nyata dan memerlukan perhatian serta penanganan yang tepat. Pemberian edukasi dapat dilakukan baik secara individual atapun kelompok. Pemberian edukasi sosial juga dapat diberikan kepada masyarakat, mulai dari anak-anak, remaja, dewasa hingga lansia karena masalah mental tidak memandang usia. Adapun contoh psikoedukasi dapat berupa seminar maupun webinar, penyuluhan, sosialisasi, kampanye dan penyebaran informasi lainnya. Bila perlu, kita dapat berkonsultasi kepada para ahli seperti psikolog atau psikiater.

Psikoedukasi terhadap masyarakat merupakan tindakan yang penting. Selain menjadi salah satu upaya dalam mengatasi stigma yang ada terkait kesehatan mental, psikoedukasi dapat menumbuhkan empati. Bermula dari empati, masyarakat dapat belajar untuk lebih memahami individu dengan gangguan kesehatan mental serta memberikan dukungan yang sesuai. 

Semua orang tentu membutuhkan dukungan dari orang-orang terdekatnya. Dukungan yang didapatkan dapat bersumber dari orang tua, keluarga, teman, dan masyarakat sekitar. Dukungan tersebut disebut sebagai dukungan sosial. Menurut Johnson dan Johnson (1991), dukungan sosial adalah suatu usaha untuk memberikan pertolongan kepada seseorang dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas kesehatan mental, memberi rasa percaya diri, doa, dorongan atau semangat,nasehat serta sebuah penerimaan. Salafino (2011) juga berpendapat bahwa dukungan sosial mengacu pada kenyamanan, perhatian, penghargaan atau sumbangan yang diberikan kepada individu oleh orang lain atau kelompok untuk membantu meningkatkan daya tahan terhadap pengaruh negatif, dan dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial adalah dukungan sosial yang homogen.

Terdapat beberapa bentuk dukungan sosial, yaitu sebagai berikut:

  1. Dukungan Emosional

    Saat sedang memiliki masalah, seseorang biasanya mencari tempat bercerita, salah satunya pada orang terdekat. Bentuk dukungan emosional dapat berupa cinta dan kasih sayang, ungkapan empati, keakraban, menawarkan simpati dan meyakinkan kembali, kepedulian, membagi pengalaman pribadi, rasa pribadi, rasa percaya dan penerimaan, perhatian terhadap orang yang bersangkutan (misalnya: umpan balik, penegasan). Individu akan merasa tidak sendirian dalam menghadapi masalah.

    1. Dukungan Penghargaan

    Bentuk dukungan sosial ini adalah dengan memberikan penghargaan, dapat berupa barang atau ucapan, atas usaha yang dilakukan memberikan umpan balik mengenai hasil atau prestasi, dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu, dan perbandingan positif orang yang diberi dengan orang-orang lain. Dukungan ini dapat menguatkan kepercayaan diri individu

    1. Dukungan alat (instrumental)

    Dukungan ini berupa bantuan yang bersifat langsung seperti pemberian uang, peralatan, pekerjaan yang dibutuhkan. Hal ini dapat mempermudah tujuan yang ingin dicapai.

    1. Dukungan Informatif

    Sesuai namanya, dukungan ini berupa penyediaan informasi, nasehat dan petunjuk atau pemecahan masalah, saran-saran atau umpan balik.

    Kampanye offline yang menjadi salah satu rangkaian acara Mental Health Festival 1.0 untuk memperingati World Suicide Prevention Day (WSPD) merupakan salah satu bentuk dari dukungan sosial. Bentuk dukungan sosial yang diberikan ialah dukungan emosional dan informatif. Saat acara berlangsung, dilakukan orasi untuk menyampaikan pentingnya kesehatan mental dan betapa berbahayanya stigma yang ada untuk masalah kesehatan mental. Selain itu, disediakan tempat untuk masyarakat yang lewat supaya dapat menuliskan pesan maupun berkeluh-kesah secara anonim. Kampanye tersebut menggait minat masyarakat yang lewat dan mereka pun ikut berdiskusi serta menyampaikan aspirasi yang dimiliki terkait isu tersebut.

    Dukungan sosial dalam berbagai bentuk memiliki berbagai manfaat. Dalam pemberiannya, manfaat dukungan sosial yang diharapkan dapat diterima oleh individu adalah sebagai berikut (Alawiyah, et.al., 2022; Wilantika, et.al., 2022):

    1. Melindungi seseorang dari dampak negatif yang diakibatkan oleh stres.
    2. Meningkatkan kemampuan individu.
    3. Meningkatkan kualitas kesehatan individu.
    4. Meningkatkan moral individu.
    5. Meningkatkan dan memperkuat harga serta identitas diri.
    6. Menimbulkan sikap penerimaan diri.
    7. Mengembangkan hubungan positif dengan orang lain.
    8. Individu menjadi mandiri.

    Untuk mendapatkan manfaatnya, pemberian dukungan sosial sangat bergantung dengan persepsi penerima. Persepsi terhadap dukungan sosial adalah suatu proses diterimanya dukungan dari orang-orang terdekat individu yang mampu diandalkan untuk memberikan bantuan, semangat, penerimaan dan perhatian yang dilihat, didengar dan dirasakan oleh individu sehingga individu menyadari dan mengerti tentang apa yang diindera, kemudian diorganisasikan dan diinterpretasikan menjadi sesuatu yang berarti. Individu akan mempersepsikan dukungan sosial sebagai salah satu hal yang positif jika ia mendapatkan manfaatnya, misal merasa disayang, tidak sendirian, dan sebagainya. Sebaliknya, jika individu tidak merasakan manfaat dari dukungan sosial tersebut, maka ia akan mempersepsikan dukungan sosial sebagai hal yang negatif.

    Epilog

    Stigma negatif terkait kesehatan mental menjadi salah satu faktor penghambat seseorang mencari bantuan kepada pihak profesional. Hal ini dikarenakan ketakutan untuk dihakimi oleh masyarakat karena stigma yang ada. Oleh karena itu, untuk membantu menangani stigma yang ada, diperlukan psikoedukasi untuk meningkatkan tidak hanya kesadaran masyarakat, tetapi juga dukungan sosial yang dapat diberikan terhadap individu yang memiliki masalah kesehatan mental.


    0 Komentar

    Tinggalkan Balasan

    Avatar placeholder

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *