“My mother taught me a lot. Except, how to live without her.”

Namaku Syifa, seorang mahasiswi di sebuah universitas di Yogyakarta. Sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara, aku sering dianggap paling manja, meskipun sebenarnya aku merasa cukup mandiri. Aku tidak tumbuh dalam keluarga yang selalu mengungkapkan kasih sayang secara terang-terangan, tapi aku tahu betul bahwa aku dekat dengan ibuku. Beliau adalah orang pertama yang selalu mendengar ceritaku, baik itu tentang masakan yang gagal kucoba, nilai tugas kuliah, atau sekadar hal-hal kecil yang menurutku menarik.

Aku sering merasa, meskipun sederhana, kehidupan ini sudah cukup membahagiakan. Pagi hariku biasanya diisi dengan aktivitas kampus, sore menjelang malam aku habiskan bersama teman mengerjakan tugas atau sekedar di kamar kos, menikmati kesendirian yang menenangkan. Tapi, aku tak pernah menyangka bahwa suatu hari, dalam hitungan detik, semuanya akan berubah. Perubahan yang begitu besar hingga membuatku kehilangan pijakan, dan menghadapi kehilangan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.

Aku masih ingat betul hari itu, hari ketika segalanya berubah dalam hidupku. Pagi itu, aku sedang bersantai di kamar kos, baru saja merendam pakaian untuk dicuci. Udara Jogja terasa hangat, dan pikiranku penuh dengan rencana sederhana untuk hari itu, mencuci, menghadiri kelas, menyelesaikan beberapa tugas kuliah dan organisasi. Kehidupan seorang mahasiswa memang penuh dinamika, tapi aku menikmatinya.

Ponselku tiba-tiba bergetar, layar menampilkan nama kakak laki-lakiku. Dengan santai, aku menjawab telepon itu, “Halo, Kak!” Suaraku riang seperti biasa. Tapi, di balik ujung telepon sana, aku mendengar suara yang berat, hampir bergetar. “Syifa… Ibu… sudah nggak ada.” Kata-kata itu menghantamku seperti petir di siang bolong. Dunia di sekitarku mendadak berhenti. Aku mematung, otakku menolak untuk memproses apa yang baru saja kudengar.

“Apa? Maksud Kakak apa?” tanyaku dengan suara gemetar, berusaha memastikan aku salah dengar. Tapi, kenyataannya tidak berubah. Telepon itu ditutup setelah beberapa kalimat yang nyaris tak kudengar dengan jelas. Yang tersisa hanyalah aku, sendirian di kamar kosku, berteriak menolak kenyataan itu. Aku menangis, tubuhku gemetar tak terkendali. Aku pergi mencuci pakaian yang tadi sudah kurendam, seperti robot, mencoba melarikan diri dari kenyataan.

Tak lama, kakakku menelepon lagi. Suaranya mencoba menenangkanku. “Ikhlaskan, Syifa. Ibu sudah tenang sekarang. Ini takdir dari Tuhan.” Tapi bagaimana aku bisa menerima itu? Aku menangis lebih keras, tubuhku memberontak seperti anak kecil, menggerakkan tangan dan kaki seolah-olah bisa melawan rasa sakit yang menghujam ini.

Setelah telepon berakhir, teman-teman kosku yang mendengar tangisku datang menghampiri. “Kenapa, Syifa? Apa yang terjadi?” Dengan suara parau, aku mengucapkan kata-kata yang terasa asing bagiku, “Ibu… Ibuku sudah nggak ada.” Mereka ikut menangis, berusaha menghiburku, meski aku tahu tak ada kata-kata yang bisa benar-benar menenangkan.

Beberapa saat kemudian, aku berkata pada mereka, “Aku sudah nggak apa-apa.” Aku mencoba mengakhiri tangisku, tapi air mataku tak juga berhenti mengalir. Aku kembali mencuci pakaianku, kali ini dengan rasa hampa yang terasa di setiap gerakan. Pukul 09.30, aku memutuskan pergi ke kampus. Aku tahu jika aku tetap berada di kamar, aku akan semakin terpuruk, bahkan mungkin melakukan hal-hal yang tak seharusnya. Namun, di kelas, aku hanya duduk di pojok belakang, mengenakan masker untuk menyembunyikan wajahku yang bengkak. Materi yang dijelaskan dosen tak ada yang masuk ke kepalaku. Pikiranku kusut, kosong, dan penuh sekaligus. Sulit untuk menjelaskan perasaan dan pikiran yang begitu menyakitkan itu.

Setelah kelas berakhir, aku kembali ke kos. Hari itu berlalu seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai. Malamnya, aku berangkat ke Jakarta untuk bertemu keluarga dan mengantar ibu ke peristirahatan terakhirnya. Sepuluh hari aku berada di kampung halaman. Sepuluh hari yang dipenuhi air mata, pelukan, dan kedatangan sanak saudara yang mencoba menghibur. Kesedihan itu begitu dalam, tapi kehadiran orang-orang tersayang sedikit menahan diriku dari jatuh lebih jauh.

Setelah kembali ke Jogja, aku merasa ada kekosongan yang tak bisa diisi. Aku yang biasanya aktif di media sosial, membagikan setiap momen kecil, kini bahkan sama sekali tak berminat membuka media sosial. Minatku pada memasak, hal yang dulu selalu membuatku bahagia, hilang begitu saja. Biasanya, aku akan memotret masakanku dan mengirimkan fotonya pada ibu. Sekarang, siapa lagi yang akan memberiku pujian hangat itu? Nafsu makanku lenyap. Setengah porsi makanan saja terasa berat untuk dihabiskan. Setiap malam, aku menangis dalam diam, selalu bertanya-tanya mengapa harus ibuku yang pergi. Saat itu, hidupku terasa hampa. Aku seperti kehilangan arah, tak tahu lagi apa tujuan hidupku. Biasanya, aku adalah orang yang ceria, selalu punya cerita untuk dibagikan kepada orang-orang di sekitarku. Tapi setelah kepergian Ibu, semuanya berubah. Aku diam, kehilangan ekspresi, seperti cangkang kosong tanpa jiwa. Pikiran-pikiranku melayang tak tentu arah, seakan-akan ada badai yang berputar terus-menerus di dalam kepalaku. Aku sering bertanya-tanya, untuk apa aku hidup di dunia ini? Toh, pada akhirnya, semua orang juga akan mati. Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantuiku. Nanti aku akan jadi apa tanpa Ibu?

Bagaimana aku menjalani hari-hariku ke depan? Aku merasa tak akan pernah bisa menjalani hidup tanpa dirinya. Rasanya semua itu terlalu berat untuk kuhadapi. Dalam benakku, semua hal tentang kehidupan terus berputar, tapi tak pernah menemukan jawaban. Aku masuk ke dalam fase di mana aku hanya menjalani hidup tanpa arah. Aku membiarkan segalanya mengalir begitu saja, tanpa tujuan, tanpa semangat. Hidupku seperti berhenti di titik itu, dan aku tidak tahu bagaimana cara untuk melanjutkannya.

Aku masih sering memikirkan banyak hal yang belum sempat aku lakukan bersama Ibu. Sebagai satu-satunya anak perempuan, ada begitu banyak pertanyaan yang ingin kusampaikan kepadanya. Masih banyak hal yang aku butuhkan darinya, nasihat, jawaban, dan pelukan yang menenangkan. Keluargaku memang bukan keluarga yang selalu terbuka, bukan yang gemar menceritakan segala sesuatu dengan detail. Tapi, aku selalu merasa punya hubungan yang istimewa dengan Ibu. Dia adalah tempatku bercerita tentang hal-hal kecil dalam hidupku, seperti masakanku yang gosong, tugas kuliah yang memberatkan, atau sekadar bagaimana hariku berjalan.

Setelah kepergian ibu, aku merasa kehilangan bagian terbesar dari diriku. Aku merindukannya, setiap detik, setiap hari—tak ada satu pun hari tanpa rasa rindu yang mendalam untuknya. Aku mencoba bercerita kepada teman-temanku, tapi rasanya tidak cukup. Aku butuh lebih dari sekadar pelukan atau nasihat mereka. Aku butuh pandangan dari seseorang yang benar-benar mengerti, dan itu membuatku memutuskan untuk mencari bantuan dari seorang psikolog.

Namun, di dalam prosesnya, perasaan yang berkecamuk dalam diriku begitu sulit dijelaskan. Sedih, marah, dan kecewa bercampur menjadi satu. Ada saat-saat ketika kesedihan begitu mendalam, sampai aku hanya bisa menangis tanpa henti. Aku merasa dunia ini begitu tidak adil. Marah juga menjadi bagian yang tak terhindarkan. Aku marah kepada Tuhan. Dalam pikiranku, aku bertanya-tanya, mengapa harus Ibu yang pergi lebih dulu? Padahal, ada begitu banyak orang lain yang hidupnya jauh lebih tidak sehat. Mengapa Ibu, yang begitu baik dan mencintaiku, harus menjadi orang yang diambil lebih cepat? Logika dan emosiku seperti terus bertarung tanpa ada jawaban yang memuaskan. Perasaan itu begitu membingungkan, membuatku merasa terjebak dalam lingkaran yang sulit kuhentikan.

Ada satu hal yang selalu kusesali. Sehari sebelum ibu pergi, ayah meneleponku. Saat itu, aku sedang sibuk dengan tugas kelompok. Aku berkata, “Nanti saja, Yah, aku lagi diskusi.” Malamnya, aku pulang larut dan tak menelepon balik. Pikirku, besok pun aku bisa menelepon mereka. Tapi ternyata, itu adalah kesempatan terakhirku untuk berbicara dengan ibu. Aku tidak sempat mengucapkan betapa aku menyayanginya, tidak sempat bertanya tentang banyak hal yang masih ingin ku ketahui darinya.

Lima bulan setelah kepergian ibu, bulan Ramadan tiba. Ramadan pertama tanpa ibu. Bulan yang biasanya penuh dengan kebersamaan dan tawa keluarga, kini terasa sunyi. Ulang tahunku di bulan Maret pun terasa hambar. Semua momen penting dalam hidupku kini harus kulalui tanpanya.

Proses untuk pulih dari rasa kehilangan Ibu benar-benar tidak mudah. Aku mencoba bercerita kepada banyak orang, mulai dari teman-temanku hingga dosen-dosenku di kampus. Aku butuh pandangan yang lebih luas, sesuatu yang bisa membantuku memahami perasaanku sendiri. Salah satu dosenku berkata kepadaku, “Syifa, setelah berduka itu normal jika kamu

merasa depresi. Yang tidak normal justru jika kamu malah senang-senang saja. Itu berarti ada yang salah dengan dirimu.” Kata-kata itu membuatku lega. Aku mulai menyadari bahwa apa yang kualami ini adalah bagian dari perjalanan yang wajar.

Dosenku juga menjelaskan tentang teori dari Elisabeth Kübler-Ross dalam bukunya On Death and Dying. Ia menyebutkan bahwa ada lima tahap kedukaan yang biasa dialami seseorang: penolakan, kemarahan, tawar-menawar, depresi, dan penerimaan. Tapi, katanya lagi, tahapan ini tidak selalu berurutan. Aku bisa berada di tahap depresi bulan ini, lalu tiba-tiba kembali ke tahap kemarahan bulan berikutnya. Semuanya bisa terjadi secara acak, dan itu normal. “Tidak perlu terburu-buru untuk keluar dari masa itu, Syifa. Semua ada waktunya,” tambah dosenku.

Aku mencoba merenungkan perkataan itu. Aku ingat pernah berada di tahap penolakan saat pertama kali mendengar kabar tentang Ibu. Rasanya tidak mungkin. Aku terus menyangkal kenyataan itu, berharap semuanya hanya mimpi buruk. Lalu, aku merasa marah, marah kepada Tuhan, kepada nasib, bahkan kepada diriku sendiri. Aku sempat merasa ingin tawar-menawar dengan Tuhan, berharap ada cara agar Ibu kembali. Semua tahap itu kujalani tanpa kusadari. Dan kini, aku perlahan mulai menerima kenyataan, meskipun masih terasa berat.

Suatu hari, aku berbincang dengan dosenku yang lain. Ia bertanya, “Apa yang bisa kamu petik dari situasi ini, Syifa?” Pertanyaan itu membuatku terdiam. Jujur, aku tidak pernah memikirkannya dari sudut pandang itu. Lalu ia melanjutkan, “Hidup di dunia ini penuh dengan takdir yang telah diatur, dan setiap peristiwa memiliki makna serta tujuan. Tidak ada yang terjadi tanpa alasan. Kedukaan yang kamu alami saat ini mungkin adalah cara Tuhan membentukmu, menguatkan hatimu. Pengalaman ini bisa menjadi pelajaran berharga, agar di masa depan, ketika menghadapi kehilangan lain, kamu lebih tabah dan bijak dalam menyikapinya”. Kata-kata itu tertanam dalam pikiranku. Aku merenung, mencoba mencari makna di balik rasa sakit ini. Mungkin benar, aku diberi pengalaman ini agar menjadi pribadi yang lebih kuat. Agar aku lebih menghargai hidup, lebih menghargai orang-orang di sekitarku. Aku mulai memahami bahwa setiap pengalaman, seburuk apa pun, memiliki hikmahnya masing-masing. Aku hanya perlu waktu untuk menemukannya.

Sejak saat itu, aku juga mulai membuka diri pada kedua kakak laki-lakiku. Kami berbagi cerita dan air mata. Mereka memberiku kekuatan untuk menerima kenyataan ini. Salah satu dari mereka berkata, “Ikhlas itu sulit, Syifa. Tapi kalau kamu sudah bisa ikhlas, kamu akan merasa damai.”

Pelan-pelan, aku mulai menemukan jalanku. Aku membaca buku, mengikuti kajian filsafat, dan bergabung dengan komunitas yang peduli pada lingkungan. Hal-hal ini membantuku menemukan makna baru dalam hidup. Aku mulai menanam bunga dan sayuran di kos, mengenang ibu yang sangat suka bercocok tanam. Setiap tanaman yang tumbuh memberiku kebahagiaan kecil, seolah ibu masih ada di sisiku. Jika waktu bisa diputar kembali, aku ingin memeluk ibu lebih sering, ingin mengatakan betapa aku mencintainya. Tapi waktu tidak bisa diulang, dan aku harus melanjutkan hidup. Dari pengalaman ini, aku belajar untuk lebih menghargai kehadiran keluarga. Aku mulai memahami bahwa waktu bersama mereka adalah hal yang paling berharga. Tidak ada yang tahu sampai kapan kita bisa bersama. Jadi, aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak menyia-nyiakan momen-momen bersama ayah dan kakak-kakakku lagi. Aku ingin menjalani hidup

tanpa penyesalan, dengan memastikan orang-orang yang kusayangi tahu betapa aku menghargai mereka.

Pesanku untuk kalian yang sedang berada dalam masa kehilangan, jangan terlalu terburu-buru untuk merasa baik-baik saja. Terimalah kenyataan bahwa saat ini kalian sedang berduka. Izinkan diri kalian untuk merasakan kesedihan itu, jangan memaksakan diri untuk tersenyum ketika hati masih terluka. Tapi ingat, jangan terlalu lama tenggelam dalam kesedihan. Kesedihan memiliki porsinya sendiri. Ketika waktunya tiba, bangkitlah, carilah kebahagiaanmu kembali, karena hidup harus terus berjalan.

Orang yang telah pergi tidak bisa kembali lagi. Tapi kita yang masih hidup, punya kewajiban untuk melanjutkan kehidupan ini dengan sebaik-baiknya. Jangan pernah memendam kesedihan sendirian. Beranikan dirimu untuk berbagi, baik kepada keluarga, teman, atau kepada mereka yang paham bagaimana membantu, seperti tenaga profesional. Kadang, bercerita saja sudah cukup melegakan hati yang penuh beban. Setelah itu, temukanlah hal-hal yang dapat membangkitkan semangatmu kembali, entah itu kegiatan baru atau hal-hal sederhana yang membuatmu merasa hidup lebih bermakna.

Untuk kalian yang belum merasakan kehilangan, belajarlah dari kisahku. Jangan menunda-nunda menunjukkan cinta kepada orang tua kalian. Katakan bahwa kalian mencintai mereka, peluklah mereka, ciumlah mereka, sebelum waktu merenggut kesempatan itu. Aku menyesal tidak melakukannya lebih sering, dan aku tidak ingin kalian merasakan penyesalan yang sama.

Hidup ini singkat, dan kehilangan adalah bagian darinya. Tapi dari kehilangan, aku belajar untuk lebih menghargai waktu, lebih peduli pada orang-orang yang kusayangi, dan lebih bersyukur atas setiap momen yang kumiliki. Semoga kisahku bisa menjadi pelajaran untuk kalian yang sedang berjuang, atau yang belum pernah merasakan ini. Hargailah hidup, dan hargailah mereka yang masih ada di sisimu.


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *