KAMPUNG DOLANAN LANSIA: PELOPOR DESTINASI WISATA
LANSIA BERBASIS KEARIFAN LOKAL DI DESA BANGUNKERTO,
KABUPATEN SLEMAN
Muhammad Abdul Fikri
Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada
Dalam tulisannya, Nirwandar (2010) menyebutkan bahwa Malaysia, Thailand, dan
Filipina masih menjadi destinasi utama lansia Jepang untuk berwisata. Ketiga negara tersebut
bahkan tidak hanya menjadi destinasi wisata sementara, namun telah bersifat semipermanen.
Artinya, para pelancong lansia yang berkunjung tidak hanya melakukan kunjungan dalam
tempo beberapa hari, namun dalam jangka waktu yang lama. Bahkan Thailand secara khusus
berhasil mengakomodasi kebutuhan wisatawan lansia asing hingga mereka berniat tinggal di
Thailand sampai akhir hayatnya.
Bila dibandingkan dengan ketiga pesaingnya, Indonesia memang belum sepenuhnya
dapat disebut sebagai negeri ramah lansia. Namun, tampaknya perhatian mulai ditujukan pada
pembangunan yang berfokus pada lansia. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari potensi yang
dimiliki Indonesia dengan segmentasi pasar lansianya yang besar baik dalam negeri maupun
luar negeri.
Jumlah penduduk lansia Indonesia diperkirakan terus meningkat dengan presentase
mulai dari 5,4% pada 1980 hingga 7,6% pada 2010. Pada tahun 2017 sendiri penduduk lansi
diproyeksikan telah mencapai angka 23,66 juta jiwa atau sekitar 9,03% dari total populasi
(Kemenkes, 2017). Besarnya angka ini menempatkan Indonesia sebagai negara berstruktur tua
karena memiliki populasi lansia di atas 7%. Pada tahun 2030, Indonesia masih diperkirakan
menjadi 10 besar negara berpenduduk lansia terbesar.
Namun bagaimana kondisi para lansia Indonesia sendiri? Berdasarkan data yang
dihimpun Badan Pusat Statistik (BPS) (2014) sebanyak 47% lansia di Indonesia masih aktif
bekerja. Di samping itu, lansia masih harus mengurus kegiatan lainnya seperti mengurus rumah
tangga dan sebagainya. Tingginya presentase lansia yang bekerja ini dapat menunjukkan
bahwa tingkat kesejahteraan lansia masih rendah sehingga mereka harus bekerja baik untuk
memenuhi kebutuhannya sendiri maupun keluarganya. Meskipun demikian, presentase
tersebut juga menunjukkan dampak positif yaitu bahwa lansia masih dianggap memiliki
kemampuan bekerja yang layak.
Kepadatan aktivitas lansia dapat dipastikan berkaitan erat dengan kondisi kesehatan
mental. Alexopoulus (2005) menilai bahwa aktivitas tersebut dapat berkontribusi pada depresi
lansia atau yang biasa disebut late life depression. Hal ini dapat disebabkan karena kemunculan
penyakit, kurangnya dukungan sosial, atau kehilangan anggota keluarga. Lebih dari itu, lansia
yang tinggal di perkotaan memiliki faktor resiko lebih terhadap depresi karena kepadatan
aktivitas dan persaingan yang ketat. Kepadatan aktivitas tersebut dapat membuat lansia
kehilangan perhatian pada aspek hidup yang lain seperti kesehatan diri dan kesehatan mental.
Ungkapan Alexopolus (2005) tersebut diperkuat dengan data yang ditampilkan BPS (2014)
yang menyebutkan bahwa lansia yang bepergian ke luar rumahnya hanya sebanyak 7,5%.
Salah satu konsekuensi dari meningkatnya presentase lansia berarti juga meningkatnya
angka harapan hidup penduduk Indonesia di mana hal ini dapat ditanggapi sebagai capaian
positif. Capaian ini merupakan salah satu hal yang harus dipertahankan dengan meningkatkan
perhatian lebih pada penduduk lansia. Salah satu caranya adalah melalui pembangunan ruang
publik atau public space. Ruang publik yang dimaksud di sini ialah suatu kawasan wisata yang
ditujukan khusus untuk para lansia. Sedikitnya jumlah lansia yang bepergian ke luar dapat
terjadi karena sedikitnya preferensi yang dimiliki lansia sehingga pembuatan kawasan
kampung lansia dapat berpotensi menjadi preferensi lansia yang juga berguna baik bagi
kesehatan fisik dan mental.
- Ruang Publik Ramah Lansia
Gagasan untuk mengembangkan kawasan wisata khusus lansia dapat menghadirkan
banyak manfaat positif. Dari segi industri pariwisata, Indonesia memiliki potensi menjadi
destinasi wisata lansia mancanegara, termasuk Jepang yang dikenal memiliki populasi lansia
besar. Banyak lokasi-lokasi pontesial yang dapat dikembangkan sebagai tujuan emigrasi lansia
sehingga nantinya Indonesia tidak hanya dikenal memiliki Bali. Hal ini dapat menguntungkan
karena selain meningkatkan wisatawan asing, devisa negara sekaligus bertambah. Bagi lansia
dalam negeri pun, kehadiran kawasan wisata berbasis kearifan lokal memiliki nilai penting.
Pengembangan sarana rekreasi di kampung wisata dapat melibatkan lansia setempat sebagai
aktor yang turut berperan.
Selain itu, manfaat utama dari kehadiran kawasan wisata lansia berkaitan erat dengan
kesehatan mental. Fleuret dan Atkinson (2007) mengajukan konsep space of well being untuk
menjelaskan bagaimana ruang publik berdampak bagi kesehatan mental seorang lansia. Dalam
tulisannya, Fleuret dan Atkinson (2007) menjelaskan bahwa ruang publik menyediakan
interaksi antara individu dengan elemen material maupun non material, memungkinkan
terjadinya mobilitas, konstruksi sosial yang positif, hingga akhirnya berkontribusi pada harga
diri lansia. Melalui ruang-ruang publik, lansia dapat terlindungi dari resiko fisik dan sosial dan
dapat membantu peningkatan fungsi fisik, emosi, dan mental. Nordbakke dan Schwanen (2013)
juga menunjukkan bahwa melalui mobilitas lansia dapat menjadi fasilitator atas kesehatan
mental tersebut. Artinya, semakin banyak lansia melakukan pergerakan dan kegiatan
rekreasional di ruang-ruang publik semakin memungkinkan terjadinya pemenuhan kebutuhan,
peningkatan kepuasan, kebahagiaan, dan potensi diri.
Sebaliknya, keterbatasan sarana publik akan membatasi mobilitas sosial lansia yang pada
akhirnya dapat berdampak pada kesehatan mental. Mobilitas ini menurut Nordbakke dan
Schwanen (2013) dapat meningkatkan kesehatan mental melalui pengalaman yang
membahagiakan dan hubungan positif yang tercipta dengan orang lain. Selain itu, adanya ruang
publik lansia dapat menjadi tempat di mana para lansia yang memiliki karakteristik serupa
berkumpul bersama. Dalam literatur psikologi, kekuatan sosial ini disebut social loafing atau
“fasilitas sosial” yang berpengaruh besar bagi konsep diri individu (Karau & Williams, 1993).
Kampung Dolanan Lansia di Desa Bangunkerto
Gagasan mengembangkan “kampung dolanan lansia” di Desa Bangunkerto, Kabupaten
Sleman berasal dari potensi dan sumber daya yang dimiliki masyarakat setempat. Beberapa
waktu sebelumnya, penulis berkesempatan menjadi fasilitator Focus Group Discussion (FGD)
yang dihadiri oleh perwakilan lansia dan individu yang tergabung sebagai kader Bina Kader
Lansia (BKL) di berbagai wilayah di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Dalam
forum FGD tersebut, penulis mendapati bahwa Desa Bangunkerto memiliki potensi yang baik
untuk dijadikan sebagai kawasan desa wisata lansia sekaligus menjadi kawasan percontohan.
Dari segi sumber daya manusia, Desa Bangunkerto tidak hanya memiliki lansia yang
masih aktif dan peduli dengan lingkungan sosialnya, namun juga orang-orang muda dan
dewasa yang tergabung dalama kader BKL. Sampai tahun 2017, penduduk lansia Desa
Bangunkerto telah mencapai 11% dari seluruh penduduk desa (Setda DIY, 2017). Angka ini
merupakan salah satu yang terbanyak di Kecamatan Turi dan Kabupaten Sleman. Namun
demikian, kader BKL Desa Bangunkerto yang baru berusia 2 tahun telah mendapatkan
penghargaan sebagai kader BKL terbaik se-Provinsi DIY pada tahun 2017. Selain itu, Desa
Turi telah menjadi desa percontohan kader BKL bagi desa lain di DIY dan nasional. Artinya,
desa ini telah diakui memiliki kapasitas baik dalam hal pemberdayaan lansia.
Prestasi tersebut tidak terlepas dari semangat dan inovasi yang dikembangkan
masyarakat. Masyarakat aktif memberdayakan lansia baik melalui permainan tradisional
maupun modern seperti karawitan dan boardgame khusus lansia. Pelatihan, sosialisasi, dan
pemeriksaan kesehatan juga dilakukan secara rutin. Di samping itu, para lansia di Desa
Bangunkerto juga aktif melakukan kegiatan ekonomi produktif dengan memanfaatkan potensi
alam yang terkenal dengan komoditas buah salaknya. Masyarakat memanfaatkan buah salak
menjadi berbagai olahan seperti wajik salak, keripik salak, donat salak, stik salak, hingga
manisan salak. Selain salak, kegiatan ekonomi mereka juga diisi dengan berjualan kerajinan
yang berasal dari sampah plastik.
Dengan potensi dan sumber daya yang dimiliki, Desa Bangunkerto memiliki potensi
untuk dikembangkan menjadi suatu kawasan wisata lansia. Gagasan yang diusulkan adalah
pengembangan “kampung dolanan lansia”. Istilah “kampung dolanan” yang berarti “kampung
permainan” ingin memberikan kesan bahwa permainan pun tak lekat oleh waktu. Kebutuhan
untuk bermain atau kebutuhan rekreasional juga diperlukan oleh lansia.
Adapun realisasi gagasan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut. Langkah pertama
adalah melakukan persiapan-persiapan baik dalam bentuk fisik maupun non fisik. Persiapan
fisik meliputi pembuatan fasilitas ramah lansia seperti jalan umum yang nyaman, tempat
peristirahatan, toilet khusus lansia, dan sebagainya. Dari segi non fisik, persiapan yang
dilakukan adalah mempersiapkan warga setempat untuk menjadi pelaku ekonomi dari
kampung dolanan lansia.
Langkah kedua adalah mempersiapkan festival dalam rangka mempromosikan Desa
Bangunkerto sebagai pelopor destinasi wisata lansia. Rangkaian acara dalam festival ini dapat
berisi pertunjukkan budaya, pameran kuliner tradisional, panggung hiburan, berbagai macam
perlombaan, hingga bazar yang berisi cinderamata khas Desa Bangunkerto. Aktor utama yang
mengisi acara festival dan sasaran utamanya adalah lansia itu sendiri. Penyelenggaraan festival
dapat dilaksanakan dalam tempo beberapa hari dan mengambil puncak acaranya ketika terdapat
momentum khusus seperti hari lansia nasional.
Festival merupakan salah satu langkah yang tepat untuk mempromosikan dan
mengenalkan kampung wisata kepada khalayak umum terlebih festival semacam ini belum
pernah dilakukan sebelumnya. Dalam penyelenggaraan festival, selain memiliki manfaat
rekreasional juga bermanfaat untuk memberikan informasi kepada masyarakat mengenai
pentingnya membentuk karakter peduli terhadap lansia bahwa mereka bukanlah beban
keluarga/lingkungan. Selain itu, festival juga bermanfaat bagi lansia-lansia setempat yang
dapat menjadi tempat untuk aktualisasi diri.
Langkah terakhir yang mungkin dilakukan adalah dengan mempersiapkan paket
berwisata itu sendiri. Paket wisata yang diberikan harus dikemas sesuai dengan kebutuhan
lansia. Berbagai potensi dan sumber daya yang dimiliki Desa Bangunkerto dapat diakomodasi
menjadi paket wisata yang disajikan untuk wisatawan. Sebagaimana diungkapkan Rais (2017)
wisata lansia harus lebih mengarah pada interaksi dengan masyarakat, kegiatan-kegiatan lokal,
dan unik. Jadwal kegiatannya pun harus disesuaikan agar tidak terlalu padat. Dari paket wisata
ini, warga-warga lokal terutama lansia itu sendiri dapat turut berperan seperti menjadi
pemandu/tur dan penyedia homestay bagi wisatawan.
Sampai saat ini, Provinsi DIY dan Kabupaten Sleman merupakan wilayah yang memiliki
angka harapan hidup tertinggi di Indonesia dengan usia rata-ratanya berkisar antara 74-75
tahun. (BPS, 2014). Tingginya angka harapan hidup ini menjadikan DIY sebagai provinsi yang
memiliki daya tarik tersendiri sebagai tempat tinggal lansia. Hal ini tentu saja semakin
menambah kesempatan Desa Bangunkerto yang berada di kawasan DIY untuk dikembangkan
sebagai kawasan wisata lansia. Apalagi Desa Bangunkerto masih berada di kawasan
Kecamatan Turi yang terkenal memiliki pemandangan indah. Keuntungan-keuntungan ini
dapat memudahkan wisatawan dalam mengakses Desa Bangunkerto.
DAFTAR PUSTAKA
Alexopoulus, George. (2005). Depression in the Elderly. The Lancet, 365, 1961-1970.
Badan Pusat Statistik. (2014). Statistik Penduduk Usia Lanjut. Jakarta: Badan Pusat Statistik
Indonesia.
Fleuret, S., Atkinson, S. (2007). Well being, health and geography: A critical review and
research agenda. New Zealand Geographer, 63: 106-118.
Karau, S. J., Williams, K. D. (1993). Social loafing: A meta-analytic review and theoretical
integration. Journal of Personality and Social Psychology, 65(4): 681-706.
Kementerian Kesehatan RI. (2017). Analisis Lansia di Indonesia. Jakarta Selatan: Pusat Data
dan Informasi Kementerian Kesehatan RI.
Nirwandar, Sapta. (2010). Ijin Tinggal Bagi Wisatawan Warga Negara Asing Lansia. Jakarta:
News letter Informasi Pemasaran Pariwisata, Edisi 12.
Nordbakke, S., Schwannen, T. (2013). Well being and mobility: A theoretical framework and
literature review focusing on older people. Journal of Mobilities, 9(1): 104-129.
Rais, Suyoto. (2017). Membidik Lansia Jepang. Jawa Pos. Diakses dari
https://www.jawapos.com/read/2017/01/16/102536/membidik-lansia-jepang pada
tanggal 31 Januari 2018.
Sekretaris Daerah DIY. (2017). Jumlah Penduduk Kecamatan Turi Menurut Kelompok Umur
Produktif. Diakses dari
http://www.kependudukan.jogjaprov.go.id/olah.php?module=statistik&periode=8&jeni
sdata=penduduk&berdasarkan=golonganusia&rentang=produktif&prop=34&kab=04&
kec=15 pada tanggal 01 Februari 2017.
Hasil Focus Group Discussion (FGD) mengenai “Lansia Tangguh 7 Dimensi” Kerja Sama
Fakultas Psikologi UGM dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana (BKKBN) Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta.